Jumat, 06 November 2009

PKM

JUDUL

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN DAN PERGESERAN ARSITEKTUR BALI

LATAR BELAKANG

Pada zaman sekarang, berbagai perubahan bentuk rumah orang Bali dapat terlihat jelas. Di kota-kota , seperti Denpasar, berbagai bentuk rumah yang bergaya barat mulai meramaikan lahan-lahan kosong yang ada di kota Denpasar. Mulai dari bentuk rumah bagian luar yang terlihat megah dan mewah. Pintu masuk yang menyerupai pintu masuk istana. Begitu juga bagian dalam atau interior, sudah mengalami perubahan. Mulai dari ruang tamu , ruang keluarga, kamar tidur, kamar mandi, dan sampai tata letak dapur, yang keseluruhan sudah menyerupai gaya rumah eropa. Isi di dalam rumah dan juga ragam rias, pernak-pernik dalam rumah sudah banyak terpengaruh oleh budaya luar daerah.

Tata letak, tata bentuk, pola dasar, tata ruang tempat tinggal orang Bali sekarang sering menjadi pembicaraan di lingkungan masyarakat mancanegara. Orang asing atau wisatawan datang ke Bali untuk melihat kebudayaan yang unik di Bali, termasuk mengenai tatanan rumah orang Bali yang unik dan berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Namun di era sekarang, boleh dibilang era modern, aturan-aturan arsitektur tradisional telah banyak dilupakan dan ditinggalkan, termasuk pola tata ruang, dimensi, proses mendirikan bangunan sampai riasan di dalamnya.

Sejak tahun 70-an pemerintah dan masyarakat Bali telah sepakat untuk melestarikan dan mengembangkan arsitektur lokal untuk menjawab tantangan-tantangan arsitektur kekinian dan masa mendatang. Untuk itu telah dilakukan berbagai upaya inventarisasi pola dasar arsitektur yang ada, baik dari segi falsafah, tata ruang, tata bentuk, ragam hias, dan sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap bangunan berasitektur Bali cukup baik, tetapi ini belumlah dirasa cukup untuk usaha-usaha pelestarian dan pengembangan arsitektur Bali. Sebagian terbesar dari karya-karya arsitektur di daerah tidak dianggap berasitektur Bali oleh masyarakat sendiri, begitu pula para wisatawan yang datang ke Bali mulai merasakan perubahan arsitektur Bali. Ini mungkin nantinya akan menjadi berkurangnya daya tarik wisatawan untuk dating ke Bali.

Untuk terlebih dahulu hendaknya dilakukan penelitian mengenai factor-faktor yang menyebabkan perubahan arsitektur orang Bali dan persepsi masyarakat agar nantinya dapat bermanfaat.

PERUMUSAN MASALAH

Adapun perumusan masalah yang dapat diungkap dari fenomena ini yaitu sebagai berikut :

    1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perubahan arsitektur rumah orang Bali?
    2. Bagaimanakah pengaruh budaya asing yang menjadikan masyarakat Bali mengubah tatanan tempat tinggalnya?

TUJUAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1. Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi perubahan arsitektur rumah orang Bali.
    2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh budaya asing sehingga orang Bali mengubah tatanan tempat tinggal.

LUARAN YANG DIHARAPKAN

Perkembangan kemajuan jaman pada era sekarang, membuat berbagai perubahan yang menjadikan dinamika kebudayaan mengalami perpaduan atau percampuaran atau bahkan mengalami pergeseran. Mengingat akan pentingnya mempaertahankan dan melestarikan bedaya warisan dari para leluhur terdahulu, berbagai upaya dan cara telah direncanakan dan dilakukan oleh pakar-pakar budaya dan peneliti demi keutuhan budaya yang kita miliki. Namun, maraknya pengaruh dan derasnya aruh pengaruh dari budaya-budaya asing yang datang bergejolak tanpa bisa dibatasi dengan kehampaan kedua tangan yang kita miliki. Sebagai generasi muda, sebagai generasi penerus bangsa, generasi yang masih enerjik, memiliki kemampuan yang lebih tetapi masih terpendam, sudah seharusnya kita ikut bergerak untuk menyikapi permasalahan kebudayaan yang kita miliki yang sudah semakin terpuruk keberadaannya. Generasi yang nantinya akan diandalkan untuk menjadi tonggak dalam mempertahankan budaya yang kita miliki, dan tidak hanya berpangku tangan kepada generasi yang sudah lanjut usia.

Mengenai permasalahan lunturnya Arsitektur Bali yang notabena dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh dari budaya luar dan lemahnya kekuatan kita untuk mempertahankan budaya kita sendiri. Perubahan konsep pengaturan tatanan tempat tinggal, gaya bangunan rumah dan isinya yang boleh dikatakan mengikuti perkembangan jaman. Itu bukanlah suatu alasan yang menjadikan bangga., karena suadah mengikuti perkembangan jaman, seharusnya kita malu karena lemahnya pertahanan kita dalam hal mempertahankan apa yang kita punya. Pendeasinan tatanan rumah yang telah menjadi konsep dasar tatanan rumah orang Bali, yang memiliki kekuatan spiritual yang sangat besar, yang menjadikan keunikan tersendiri dan menjadi daya tarik. Masih belum bangga dengan semua itu? Apa harus meninggalkan aset yang begitu besar yang kita miliki? Apa karena takut dibilang ketinggalan jaman?

Penelitian mengenai pengaruh budaya asing telah dilakukan oleh para ahli dibidangnya, yang mendatangkan rencana-rencana baru mempertahankan Arsitektur Bali. Demikian pula, penelitian yang akan datang membawa hasil yang akan menjadi pedoman yang kuat untuk mempertahankan arsitektur Bali dan tetap menggunakan konsep-konsep yang sudah tercantum didalamnya.

KEGUNAAN

Kegunaan dari penelitian ini nantinya diharapkan bisa menjawab permasalahan perubahan arsitektur Bali kini. Perubahan-perubahan apa yang mendasari sehingga orang Bali merubah tatanan arsitektur yang merupakan warisan kebudayaan dari para leluhur. Menjawab bagaimanakah pengaruh-pengaruh budaya luar, apa yang menyebabkan, mulai dari kapan tatanan tersebut mulai berubah, darimana perubahan tersebut berawal, daerah-daerah mana saja yang paling besar perubahnnya, mengapa perubahna tersebut bisa terjadi, dan siapa yang akan menjaga keutuhan budaya yang salah satunya adalah arsiteltur Bali itu sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya, ini akan menjadi bahan dasar pemikiran unuk penelitian yang lebih lanjut mengenai tatanan/ arsitektur Bali yang mulai ditinggalkan oleh karena adanya pengaruh era modern.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut. Karena itu, membuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.

Arsitektur Tradisional Bali

Arsitektur tradisional Bali memiliki ciri-ciri bentuk yang membedakannya dari bentuk arsitektur lainnya di Indonesia. Secara tipologis, Arsitektur Bali dapat dibedakan antara arsitektur perumahannya, tempat pemujan, dan bangunan umum Fenomena dari arsitektur di daerah Bali tidak terlepas dari perkembangan tuntutan bahasa formal arsitektur yang melanda dunia abad kedua puluh. Bahkan, fenomena ini menjadi paling menarik bagi sebagian terbesar masyarakat konsumen arsitektur dibandingkan dengan dimensi arsitektur lainnya seperti tata letak, tata ruang, aturan-aturan, lontar, dsb.

Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas, meliputi segala aspek dalam kehidupan. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone: Nista (bawah, kotor, kaki), Madya (tengah, netral, badan) dan Utama (atas, murni, kepala).

Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)

Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)

Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali


Bangunan Hunian

Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.

Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.

Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga).

Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.


Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam

Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang disebut sebagai ruang luar (Yoshinobu Ashihara). Halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar.

Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten).

Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.

Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari 'ruang luar' menjadi 'ruang dalam' karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.

Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.

Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, "natah" berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat "manusia". Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.

Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi "frame" untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi 'ruang-luar' dengan ketidak-hadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana.

Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir.

Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi 'frame' untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain.


Konsistensi dan Konsekuensi

Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain.

Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang 'membuka' ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan.

METODE PELAKSANAAN

a. Rancangan Penelitian, Populasi dan Sampel

Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan sample survey. Populasi dalam penelitian ini adalah orang Bali yang berdomisili di kota Denpasar, yang sudah berumah tangga yang berumur 22-60 tahun dan beragama Hindu. Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Madya Denpasar di dua kecamatan yaitu Denpasar Barat dan Denpasar Timur.

b. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat mengenai Arsitektur Bali, digunakan pendekatan secara kualitatif dengan menggunakan table-tabel frekuensi sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan untuk variable terikat digunakan persepsi dan pengetahuan masyarakat mengenai arsitektur Bali dan variable bebasnya adalah umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan dan pengalaman kerja.

c. Teknik pengumpulan data

teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, dengan menggunakan instrumen pokok berupa kuisioner. Dengan menggunakan metode kuisioner, akan dapat diperoleh beberapa keuntungan, yaitu murah, hemat waktu dan data yang diperoleh cukup luas dan banyak.

JADWAL KEGIATAN

Jadwal kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan sebagai berikut :

a. Persiapan

Persiapan dari penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan-1

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan secara bertahap, karena luasnya daerah yang akan dijadikan objek penelitian. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di Kecamatan Denpasar Selatan pada bulan ke-1 dan Kecamatan Denpasar Timur pada bulan ke-2. untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Jadwal pelaksanaan kegiatan

RANCANGAN BIAYA

Adapun perincian biaya yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bahan Habis Pakai

Administrasi = Rp 500.000,00

Pembuatan soal-soal kuisioner = Rp 50.000,00

Penggandaan soal-soal kuisioner

(3 x 1000 x Rp 1000,00) = Rp 3.000.000,00

b. Peralatan Penunjang

ATK = Rp 200.000,00

c. Perjalanaan

Transportasi ke Kecamatan Denpasar Selatan

( 5 x Rp 500.000,00) = Rp 2.500.000,00

Transportasi ke Kecamatan Denpasar Timur

( 5 x Rp 500.000,00) = Rp 2.500.000,00

d. Lain-lain

Cadangan = Rp 600.000,00

JUMLAH Rp 7.100.000,00

DAFTAR PUSTAKA

Ngakan Putu Sueca et al.”faktor-faktor determinan pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang bangunan berlanggam bali”.laporan penelitian, Denpasar.

http://www.pulsit.petra.ac.id/journal/architecture/bangunanbali.html[23 Agustus 2009].

Kevinabali.2009.Bagaimanakah Bangunan Arsitektur Bali yang Bisa Membuat Penghuninya Merasa Naman dan Bahagia. Kevinabali.

http//kevinabali.wordpress.co.id/architecturbali.html[23 Agustus 2009].

PT Cipta Mortar Utama(MU).2008. Arsitektur Bangunan Dunia Abad 21. MU.

http://MU.wordpress.com/solusibagunanMU-Arsitektur.html[23 Agustus 2009

Architekture, Bali. Arsitektur Bali. Bali Arsitektur.

http://baliarchitekture.ac.id/arsitektur bali.html[23 Agustus 2009


Tidak ada komentar: